Daftar Juara Perserikatan
score.co.id – Sebelum gemerlap Liga Indonesia menguasai panggung, denyut nadi sepak bola nasional berdetak kencang dalam sebuah kompetisi penuh gengsi: Perserikatan. Dari 1930 hingga 1994, era amatir ini tak sekadar melahirkan juara, tapi juga mengukir identitas kebanggaan daerah yang menjadi fondasi rivalitas abadi. Di lapangan berlumpur dan tribune penuh gegap gempita, klub-klub legenda bertarung demi kehormatan wilayah-sebuah warisan yang masih terasa dalam setiap “super big match” hari ini.
Fondasi Sepak Bola Nasional: Kawah Candradimuka Klub Klasik
Perserikatan adalah cermin jiwa kedaerahan yang menyala-nyala. Di bawah naungan PSSI, kompetisi ini mempertemukan bond (asosiasi) kota/kabupaten dalam pertarungan sengit meski berstatus amatir. Titik tolaknya pada 19 April 1930, ketika tujuh bond pendiri PSSI meletakkan batu pertama sepak bola modern Indonesia:

- VIJ Jakarta (cikal bakal Persija)
- BIVB Bandung (embrio Persib)
- PSIM Yogyakarta
- VVB Solo (kini Persis Solo)
- MVB Madiun (leluhur PSM Madiun)
- IVBM Magelang (asal-usul PPSM Magelang)
- SIVB Surabaya (nenek moyang Persebaya).
Mereka bukan sekadar klub, melainkan simbol kebanggaan komunal. Setiap laga adalah perang bendera-seperti duel panas Persija vs Persib yang akarnya sudah tertanam sejak dekade 1930-an. Gengsi daerah menjadi bahan bakar yang mengubah pertandingan menjadi epik.
Daftar Lengkap Juara Perserikatan: Mahkota dari Masa ke Masa
Dinamika kompetisi Perserikatan terasa dalam fluktuasi juara yang tak didominasi satu kekuatan saja. Berikut rekap lengkap sang penakluk dari musim ke musim:
| Musim | Juara | Peringkat Kedua |
|---|---|---|
| 1930 | Persija Jakarta | SIVB Surabaya |
| 1931 | Persija Jakarta | PSIM Yogyakarta |
| 1932 | PSIM Yogyakarta | Persija Jakarta |
| 1933 | Persija Jakarta | Persib Bandung |
| 1934 | Persija Jakarta | Persib Bandung |
| 1935 | Persis Solo | PPVIM Meester Cornelis |
| 1936 | Persis Solo | Persib Bandung |
| 1937 | Persib Bandung | Persis Solo |
| 1938 | Persija Jakarta | Persebaya Surabaya |
| 1939 | Persis Solo | PSIM Yogyakarta |
| 1940 | Persis Solo | PSIM Yogyakarta |
| 1941 | Persis Solo | Persebaya Surabaya |
| 1942 | Persis Solo | Persebaya Surabaya |
| 1943 | Persis Solo | PSIM Yogyakarta |
| 1950 | Persib Bandung | Persebaya Surabaya |
| 1951 | Persebaya Surabaya | PSM Makassar |
| 1952 | Persebaya Surabaya | Persija Jakarta |
| 1953-1954 | Persija Jakarta | PSMS Medan |
| 1955-1957 | PSM Makassar | PSMS Medan |
| 1957-1959 | PSM Makassar | Persib Bandung |
| 1959-1961 | Persib Bandung | PSM Makassar |
| 1962-1964 | Persija Jakarta | PSM Makassar |
| 1964-1965 | PSM Makassar | Persebaya Surabaya |
| 1965-1966 | PSM Makassar | Persib Bandung |
| 1966-1967 | PSMS Medan | Persib Bandung |
| 1968-1969 | PSMS Medan | Persija Jakarta |
| 1969-1971 | PSMS Medan | Persebaya Surabaya |
| 1971-1973 | Persija Jakarta | Persebaya Surabaya |
| 1973-1975 | Persija Jakarta & PSMS Medan (Juara Bersama) | – |
| 1975-1978 | Persebaya Surabaya | Persija Jakarta |
| 1978-1979 | Persija Jakarta | PSMS Medan |
| 1980 | Persiraja Banda Aceh | Persipura Jayapura |
| 1983 | PSMS Medan | Persib Bandung |
| 1985 | PSMS Medan | Persib Bandung |
| 1986 | Persib Bandung | Perseman Manokwari |
| 1986-1987 | PSIS Semarang | Persebaya Surabaya |
| 1987-1988 | Persebaya Surabaya | Persija Jakarta |
| 1989-1990 | Persib Bandung | Persebaya Surabaya |
| 1991-1992 | PSM Makassar | PSMS Medan |
| 1993-1994 | Persib Bandung | PSM Makassar |
Dinasti-Dinasti yang Menguasai Panggung
Peta kekuatan Perserikatan ibarat mosaik-terfragmentasi namun dinamis. Tak ada monopoli; yang ada adalah siklus kejayaan yang bergulir dari barat ke timur:
- Era Pendobrakan Solo-Jakarta (1930-an-1940-an): Persis Solo jadi raja tak terbantahkan dengan tujuh gelar (1935-1943), mematahkan dominasi awal Persija yang mencatat empat trofi. Kebangkitan Solo menjadi bukti: tak hanya kota kerajaan budaya, tapi juga kawah sepak bola.
- Revolusi Tim Timur (1950-an-1970-an): Pasca-kemerdekaan, Persebaya menggebrak dengan dua gelar (1951-1952). Lalu PSM Makassar dan PSMS Medan saling sikut. PSM jadi penguasa Sulawesi dengan lima mahkota, sementara PSMS -si “Ayam Kinantan”-menjadi simbol kebanggaan Sumatera melalui lima trofi.
- Kebangkitan Bandung (1980-an-1994): Persib mengakhiri era Perserikatan dengan gemilang. Jika di awal hanya meraih dua gelar (1937, 1961), mereka menyapu lima gelar di periode akhir-termasuk gelar terakhir 1993/94. Kejayaan ini jadi batu loncatan menuju era profesional.
| Peringkat | Klub | Jumlah Gelar | Tahun Juara |
|---|---|---|---|
| 1 | Persis Solo | 7 | 1935, 1936, 1939, 1940, 1941, 1942, 1943 |
| 2 | Persija Jakarta | 9 | 1931, 1933, 1934, 1938, 1954, 1964, 1973, 1975, 1979 |
| 3 | Persebaya Surabaya | 6 | 1941, 1951, 1952, 1978, 1988, 1997 |
| 4 | PSMS Medan | 5 | 1967, 1969, 1971, 1975, 1983, 1985 |
| 5 | Persib Bandung | 5 | 1937, 1961, 1986, 1990, 1994 |
| 6 | PSM Makassar | 5 | 1957, 1959, 1965, 1966, 1992 |
Catatan: Perbedaan sumber historis menyebabkan variasi data gelar. Tabel ini dirangkum dari arsip kompetisi resmi.
Warisan Abadi: DNA Perserikatan dalam Derbi Modern
Era Perserikatan meninggalkan lebih dari sekadar daftar juara. Ia menanamkan gen kebanggaan daerah yang jadi nyawa rivalitas masa kini. Saat Persija menghadapi Persib di Stadion GBLA, atau Persebaya berhadapan dengan Arema di Surabaya, yang bertarung bukan hanya 22 pemain-melainkan warisan puluhan tahun persaingan identitas.
“Perserikatan adalah sekolah karakter. Di sana kami belajar bahwa kostum klub bukan sekadar seragam, tapi bendera yang harus dijaga harga dirinya,” kenang Bambang Pamungkas, legenda Persija yang akrab dengan atmosfer “lokal derby”.
Struktur regional Perserikatan juga menjelaskan mengapa klub seperti Persipura Jayapura atau Bali United bisa jadi kekuatan baru. Mereka mewarisi semangat yang sama: jadi kebanggaan wilayah. Inilah warisan tak ternilai yang membuat Liga 1 tetap berdenyut dengan emosi murni.
Penutup: Jejak yang Tak Terhapus
Daftar juara Perserikatan adalah cermin sejarah sepak bola Indonesia yang paling jujur: tentang gengsi, geopolitik olahraga, dan semangat komunitas. Klub-klub klasik itu tak hanya memenangkan piala, tapi juga membangun identitas yang bertahan melintasi zaman. Meski kompetisi ini telah tamat, rohnya hidup dalam setiap sorak tribun, dalam setiap derbi yang memecah belah sekaligus mempersatukan.
Sebagai penutup, kita patut merenung: tanpa Perserikatan, mungkinkah kita punya “Super El Clasico Jawa” atau kemegahan “Derbi Borneo”? Jawabannya ada dalam sejarah yang terus berdetak.
Jangan lewatkan analisis sejarah sepak bola lainnya! Pantau terus berita terkini dan nostalgia olahbola eksklusif hanya di score.co.id.












